Selasa, 24 Juni 2008

Sajak2 Jiekoengoenya_De_Espresione

Jalan Kita Sebentar Lagi Usai…

Ada saat

Kita berdiam diri

Di antara tanah berdebu

Ada kisah

Kita bernyanyi riang

Disaat diam tak memihak

Ada waktu

Kita berjuang sendiri

Di kisah nyanyian kering perkotaan

Ada cerita

Kita bertemu pandang

Di waktu perjuangkan hak hidup

Tanya pada dirimu

Apa yang hendak kauperbuat kali ini

Jawab untuk dirimu

Ada penindas yang mesti dilawan

Serukan bagi dirimu

Penindasan harus berhenti

Titik maksud dirimu

Atas segala kebohongan

Sudah!

Terpaku menatap penderitaan

Selesaikah?

Jalan kita sebentar lagi usai



Hari ini, Aku Hendak Ke Mana?

Mobil-mobil mewah ber-Ac

Hilirmudik di hadapanku

Trafficlight

Terus berganti

Merah, kuning, hijau

Aku rindu kampung halaman

Bersama sambutan senyuman

Seorang ibu

Langkah lambat

Aku melewati tiap pepohonan

Yang terus berkurang

Setiap harinya

Oleh manusia yang tak mau tahu

Aku rindu pasir pantai

Tempat biasa aku bermain

Sewaktu kecil

Kota ini tak lagi ramah

Kemacetan, pelan-pelan

Menjadi hal yang biasa dijumpai

Aku rindu seseorang

Yang pernah berkata

“Dunia semakin sempit. Dalam nyata,

Ataupun dalam hati.

Lalu…

Hari ini, kauhendak ke mana?”

Aku hendak ke awal kehidupan

Di bumi mana semua bermulai




============

Berlatar belakang suara komentator pertandingan sepak bola

Dari DvD Portable Kawan Adit

Dan kopi hangat ala Daeng Gassing

Kususun kalimat selamat mengulang hari lahir

Bagi sahabatku yang menetap di Tenggara Sulawesi

“Lelaki sejati tidak mencari dimana kehidupan lebih baik

Tetapi dimana kewajiban terhampar”

Kata El Sup

Secara tidak langsung

Pertambahan usia juga menyertakan penambahan tanggung jawab

Akan kehidupan

Pada kematian

Serta perlawanan

Hari lahir menjadi hari istimewa bagi sebahagian makhluk hidup

Ada yang menari oleh tiupan angin

Ada yang berlari mengejar mangsa buruan

Pun ada yang hanya termenung memikirkan nasib ke depan dan ke belakang

Tapi seluruh kelahiran

Akan ditemukan pada setiap kepergian

Kepergian yang entah kemana

Setelah itu

Akan ada pertemuan kembali

Tanpa tanda tanya

Untuk berseru



=======

Ada ide yang tak tertuang

Di antara kata-kata yang mati berdiri

Dari ujung sana ada ide yang mengendap

Di sela-sela teriakan kelaparan

Ayo kawan!

Jangan berputus asa

Perjalanan kita masih teramat panjang

Tak ada waktu tuk berhenti menanti

Semangat

Dalam ingatan

Pada sikap

Untuk perwujudan


Jiekoengoenya_De_Espresione

Magrib yang menguap berlanjut malam

Ada yang Mencuri Hangat Teh Malam ini

_Dedy de goode

Malam ini seperti mati. Tak ada aktifitas yang menandakan kehidupan masih berjalan. Jalanan langang. Setiap sudut tiba-tiba diam. Hujan siang tadi masih menyisakan air yang menggenang di parit atau jalanan yang berlubang seperti kubangan kerbau di sawah-sawah. Udara dingin memaksa setiap orang untuk tetap tinggal di rumah dan duduk di perapian bersama sanak keluarga, sahabat dan teman terdekat. Atau bila harus keluar, maka jaket harus turut membalut kulit tubuh yang diserang dingin. Barangkali setiap orang punya cara sendiri untuk mengusir dingin. Apapun yang mengandung hangat akan menjadi kekasih yang dicari-cari pada malam ini.

Nuansa putih pada tembok di ruangan berukuran tiga kali empat meter ini, dengan neon yang bergumam pelan, rak-rak dengan buku-buku di atasnya, pigura-pigura foto keluarga yang di belakangnya bersembunyi seekor cecak, serta sunyi yang sempurna mendekap masuk ke dalam ruangan di otakku yang mulai sesak oleh berbagai kenangan yang membusuk. Ada cerita yang tercipta saat tiba-tiba teh di hadapanku menjadi dingin seperti malam ini. Siapa yang mencuri hangatnya, aku tak tahu.

Barangkali setiap orang akan berpikir bahwa dinginlah yang membunuh hangat pada teh. Seperti api disirami air. Akupun berpikir demikian. Sebab, bagaimanapun alasan itu sangat rasional dan masuk akal. Malam ini, tepat pendulum jam singgah pada angka sempurna, ada yang mencuri hangat teh di atas mejaku. Sebuah pencurian yang sempurna. Sebab tak tersisa sedikitpun hangat dalam pahitnya. Seperti cinta yang dititipnya pada hari-hari lewat, kini telah dibawanya tanpa sisa. Meski sekedar untuk diimpikan pada malam-malam yang kejam. Saat bulan membunuh pijar bintang yang hendak bersinar. Saat burung hantu membawa berita tentang kematian. Saat anjing-anjing melolong pada malam buta di lorong-lorong.

Ada yang mencuri hangat teh malam ini. Siapa yang mencuri hangatnya, aku tak tahu. Sebab, aku tak menerima seorangpun tamu pada malam ini. Tak seorangpun yang mengetuk pintu, mengucap salam lalu segera pergi saat hujan sudah reda. Jendela telah kututup rapat saat seorang mengingatkan aku pada siaran malam dalam radioku yang sudah mulai renta. Tempias dari air hujan yang terpecik di kaca jendela masih melekat dan mengintip dari luar. Lalu siapa?

Saat hangat teh tiba-tiba hilang, ada cerita yang tiba-tiba muncul di atas langit-langit kamarku. Di tembok, lemari, buku-buku, meja, jendela, pintu, halaman rumah dan cangkir dengan ukiran naga menjelma kisah saat pandang melata di atasnya seperti ular sanca menari-nari di atas daun-daun di belakang kebun. Kisah dari cinta yang pergi pada subuh hari. Sebelum embun menyerah dan kalah pada matahari. Dan kisah itu bermula dari hangat teh yang tiba-tiba hilang.

Jika cahaya neon dihalangi dengan benda di atasnya, maka bayang-bayang dari benda itu akan jatuh ke mana-mana. Seperti itu pula pikiran jika telah dijejali dengan berbagai macam kenangan. Setiap benda yang terlihat akan menjelma kenangan itu. Seperti mata ketika telah dimasuki bayang-bayang. Setiap sesuatu menjelma bayang-bayang itu saat pandang jatuh pada segala arah.

Jika hanya beberapa saat saja hangat teh bisa hilang, betapa dahsyat dingin itu. Sedahsyat amnesia yang membunuh kantuk pada malam hari. Sedahsyat embun menyuburkan bunga-bunga sebelum matahari terbit. Dan sedahsyat kanker yang bersarang di otakmu dan mengambilmu dariku di ujung dipan pada sebuah rumah sakit. Genggaman tanganku pada tanganmu ternyata tak bisa lagi menunda takdirmu untuk segera pamit. Padahal kisah belumlah sempurna tercipta. Terlalu banyak hal yang belum kau ketahui.

Seandai tak ada yang mencuri hangat teh malam ini, barangkali tak ada cerita yang menyeruak. Tak ada kisah yang membuncah tiba-tiba. Seperti kebohongan yang ditimbun pada bak sampah yang sudah mulai sesak. Dan udara yang terus-menerus terisi pada balon yang dibeli dari kedai tetangga. Atau air dalam ember yang telah penuh oleh hujan sore hari. Sementara ada yang mengukir kesetiaan pada janji tak pasti. Menyerahkan mimpi sepenuhnya pada pembohong. Menulis keikhlasan yang menzarah pada bibir pantai dan langit biru, barangkali adalah sebuah kesia-siaan. Namun bagimu adalah sebuah pengorbanan yang sangat manis. Sementara ada pula yang menulis tentang sebuah pengkhianatan dan perselingkuhan. Dan tak jarang kebohongan adalah cara yang tepat untuk memelihara pengkhianatan dan perselingkuhan. Dan kau tak pernah tahu itu.

Pernah ada malam yang dingin seperti malam ini, kau datang melalui kabel dari rumahmu menuju rumahku. Suaramu merdu dari seberang. Kau tanya kabar. Dan tak lupa kau bertanya tentang kesetiaan dan rindu yang menggebu-gebu. Aku jawab, aku masih rindu dan tetap setia. Jawaban ini kuucapkan dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sehabis percakapan singkat kita, kau tak tahu bahwa seeorang perempuan telah menanti rangkulanku yang akan mengusir dingin di tubuhnya di sofa di ruang tamu. Dan selalu kau menanyakan itu saat malam menjadi dingin sehabis hujan. Selalu pula ada perempuan lain yang menungguku di sofa.

Masih pula kuingat saat aku hendak pamit keluar kota bersama teman-temanku. Bertamasya mengelilingi dan menyaksikan pemandangan indah pada sebuah bukit. Melukis gadis yang baru saja kukenal di hadapanku, sambil sesekali memuji lekuk tubuhnya, dari rambut hingga ujung kaki. Dan sepulang dari sana, kau masih sempat menanyakan kabar dan pertanyaan yang biasa kau tanyakan. Dan jawabanku masih tetap sama seperti pertanyaanmu. Sesekali aku menggerutu, kau terlalu mendewakan kesetiaan. Sementara hidup adalah untuk dinikmati. Apa yang membuatmu begitu mengagungkannya, hingga kau pergi, masih saja kau lemparkan pertanyaan itu?

Kepercayaan, katamu, adalah hal yang membuatmu bertahan. Dan juga, tambahmu, kesetiaan mampu merobohkan dinding yang terbuat dari baja sekalipun. Aku hanya mengangguk kala itu. Dan kau selalu layarkan kecup lewat suara yang kau kirim ke rumahku sebagai hadiah sebelum tidur. Kau selalu ingatkan aku untuk berdoa dahulu. Doa senantiasa akan menghadirkan mimpi indah kedalam tidur, katamu suatu waktu.

Sampai umurmu harus usai pada malam itu, kesetiaan yang kau katakan benar-benar telah menghancurkan dinding yang selama ini kubangun dari kebohongan dan pengkhianatan. Aku harus berbohong untuk terakhir kali, aku terpaksa. Sebab aku tak ingin kebohongan sebelumnya membuatmu kecewa dan tak nyaman untuk pergi. Kebohongan kali ini bukan karena pengkhianatan, tapi karena rasa yang mulai menyelinap masuk melalui urat nadi menuju jantungku. Dan kulihat kau tersenyum lega saat mendengar kebohongan itu. Sepertinya hidupmu hanya untuk mendengar dan mempercayai kebohongan dariku. Kau tak bertanya apa-apa lagi padaku. Matamu tertutup seperti hendak menjumpai mimpi dari doa-doa yang selalu kau katakan padaku.

Sampai saat ini, jika hendak tidur aku selalu berdoa dahulu. Memohon Tuhan mengirimmu kembali padaku, meski hanya dalam tidur semalam.

Hingga malam masih saja dingin oleh hujan sore hari, aku belum menemukan siapa yang mencuri hangat tehku. Barangkali angin, atau waktu pada jarum jam. Atau barangkali hangat menolak bercumbu dengan teh. Hingga dia putuskan untuk pergi mencari sesuatu yang lain. Hangat ternyata tak setia pada teh malam ini. Buktinya dia harus menghilang dari seduhan. Aku harus mencari kehangatan pada yang lain. Sebab malam ini teh tak lagi hangat.

Sepertinya ada yang menekan angka-angka pada telepon umum di pinggir jalan, dan mengirim bunyi untuk segera diangkat. Aku harus bergegas, sebab mungkin ada jawaban atas pertanyaan akan siapa yang mencuri hangat tehku, atau mungkin dialah pencurinya.

Suara di seberang mengirim angin yang berhembus kencang. Bumi seperti berguncang. Aku terdiam terpaku seperti patung yang terpasung dan tertanam di tengah-tengah kota, saat sebuah sapaan yang sepertinya kukenal muncul dari seberang.

”Selamat malam. Apa kabarmu? Kau masih rindu aku, kan? Ingat, jangan lupa berdoa sebelum tidur!”

Tiba-tiba sekeliling menjadi geiap.

Makassar, 2008

Membaca diari nenek

_Dedy de goode


“Bacakan aku lagi sehalaman saja diari itu,” ucap nenek padaku. Permintaan ini sudah lumrah bagiku, bila malam tiba-tiba dingin dan nenek tak bisa pejamkan matanya yang berangkat menua. Dalam piyama biru itu, nenek lebih mirip siluet bocah balita yang mengenakan baju ibunya yang kebesaran pada tubuhnya. Dan aku adalah laki-laki yang disunting nenek untuk menjadi pendongeng—ah, bukan pendongeng. Tepatnya aku adalah cermin bagi nenek untuk sekedar melihat masa-lalunya.

Malam itu, entah sudah malam keberapa aku menyentuh diari ini. Aku sepertinya telah menyatu dengan ceruk-ceruk, garis-garis, debu-debu, serta kekusamannya. Tulisan nenek rapi melata di atas garis yang seluruhnya berjumlah duapuluhlima. Ya, aku hapal betul jumlah garis setiap halaman diari nenek. Dan malam ini, tepat jarum jam menuntaskan detaknya pada angka dua belas, aku membuka halaman limapuluh diari nenek. Bila aku terlihat telah bersiap-siap membaca, nenek akan segera memeluk bantal bersandar kedinding, seraya kakinya diluruskan kearahku. Diari nenek adalah sekumpulan memori yang ditulisnya pada usia sembilanbelasan. Tulisan nenek bagiku sedang-sedang saja, bahkan mendekati klise yang naif dan melankolis. Bahkan pernah suatu malam aku tiba-tiba malas, dan nenek berkata padaku:

“Demi usia tuaku, lakukan ini untukku.”

Aku merasa bersalah pada nenek. Apa yang telah dikatakannya benar. Nenek hanya punya satu kesempatan untuk meminta apa-apa. Punya satu pilihan untuk berbuat. Tidak seperti diriku yang masih muda dan akan segera kuliah.

Aku ingat malam pertama nenek menyuruhku membaca diari itu. Dia menyimpannya pada sebuah kotak besi tua karatan mirip peti harta karun firaun yang tertanam bersama mummi. Nenek memandangi wajahku dalam-dalam. Setelah itu wajahnya yang keriput tiba-tiba merapat seperti baru saja disuntik silikon pada porinya.

Aku ingat, halaman pertama bertanggal 21 Maret 1945. Saat itu perang asia timur raya, Jepang melawan sekutu, tengah bergejolak. Dan persiapan untuk kemerdekaan tengah dipersiapkan. Nenek adalah seorang anak yang lahir dalam suasana perang dan ketidakamanan. Ayahnya adalah seorang yang gigih melawan penjajah. Ada sepuluh halaman nenek menceritakan dalam diarinya suasana begitu mencekam. Sampai akhirnya ia bertemu seorang pemuda, dan akhirnya jatuh cinta. Dalam halaman selanjutnya nenek teus menceritakan pemuda itu. Kata-kata nenek seolah sebuah puisi yang ditujukan buat kekasihnya. Nenek telah betul-betul jatuh hati pada pemuda itu. Ada satu momen dalam diari itu saat nenek bercinta bersama pemuda itu di sebuah taman, yang belakangan namanya tertulis: Samsul. Tak kurang dari tiga-puluh-kali nama pemuda itu menghiasi setiap sudut diari nenek. Dan nenek senang jika Samsul menyebut namanya dengan Mina. Siti Aminah. Aku yakin nenek senang bukan karena nama itu indah—setidak-tidaknya nama itu terlampau melayu bagi wanita Jawa—melainkan karena sebutan itu datang dari bibir seseorang yang sangat dikaguminya. Semua orang pasti akan bahagia jika mendengar namanya disebut oleh yang dikagumi. Dan aku berpikir inilah pemuda yang menjadi kakekku. Tapi aku keliru saat nama dan cerita berubah haluan dari yang diperkirakan nenek. Pemuda itu mati saat melawan Jepang di sebuah hutan. Dan nenek akhirnya dipersunting pemuda kaya anak tuan tanah yang akhirnya menjadi kakekku. Tapi kakekku telah almarhum setahun lalu di sebuah rumah sakit. Penyakit jantungnya kumat karena sebuah teriakan penyanyi rock dalam radionya yang renta. Nenek betul-betul kehilangan: kehilangan Samsul dan kakek.

Dan halaman lima-puluh ini, belum juga terbaca. Nenek masih setia menanti gerak bibirku. Wajahnya cemas khawatir seperti rupa perempuan menunggu kereta terakhir yang mengantar pulang kekasihnya. Dan aku sering memperhatikan nenek jika sudah begitu. Ekor mataku mulai meliuk-liuk di atas susunan huruf-huruf di atas lembaran diari. Sepertinya halaman yang tengah kupegang ini adalah halaman menjelang penghabisan. Dan aku benar. Dua halaman lagi diari ini akan habis. Esok malam aku tak akan lagi mendapat tugas membaca diari nenek. Kecuali bila nenek ingin mendengar semuanya lagi. Ah, sepertinya aku harus merekam suaraku sendiri pada sebuah kaset kosong dan diserahkan pada nenek, agar jika aku tak ada, atau ingin mendengar sendiri diari itu dibaca, nenek bias langsung saja memutar kaset rekamanku.

Tapi, nenek menolak. Aku pernah menyarankan sebelumnya. “Aku ingin mendengar langsung dari bibirmu.” Itu jawabannya.

Halaman menjelang akhir ini kubaca lamat-lamat dengan kalimat dan tekanan yang pasti, sebab pendengaran nenek mulai berkurang dan penglihatannya mulai mengabur. Ubannya jatuh satu-satu di atas bantal yang dipeluknya. Sementara giginya tinggal tiga, dua pinggir kiri atas, satu pinggir kanan bawah. Itu pun sudah mulai rapuh. Tak jarang nenek mengunyah sirih di siang hari. Di bawah ranjang, jika hendak tidur, nenek selalu nemempatkan sebuah kendi kecil yang berisi abu dapur, tempat menumpahkan dahaknya jika sewaktu-waktu ia batuk. Kadang aku jijik, kadang juga tidak.

Halaman mulai bercerita. Nenek diam menggenapkan sepi: tentang pernikahannya bersama kakek yang dianggapnya kurang bahagia. Bagimana pun ia perempuan. Budaya diam dan mengangguk adalah bahasa santun dan hormat bagi perempuan tanpa harus banyak bertanya. Sampai saatnya ia mengandung ibu, nenek masih saja belum bisa melupakan Samsul. Meski terbilang hampir tak pernah bertengkar dengan kakek, namun nenek belum juga merasa bahagia. Entah mengapa. Nenek sendiri tak tahu. Dia sendiri sudah pernah mencoba mencinta kakek, tapi selalu gagal. Di akhir kalimat halaman itu, nenek memutuskan berhenti menulis diari dan menaruhnya dalam kotak besi tua karatan dan menyimpannya dalam lemari kaca. Tak seorang pun tahu akan keberadaan diari itu. Begitu rapi nenek menyimpannya. Bahkan angin pun tak akan mampu masuk kedalam kotak itu untuk sekedar mencuri huruf-hurufnya dan segera dibawa lari menuju barat. Apalagi kecoa maupun tikus. Dan entah apa namanya, keberuntungan atau bukan aku adalah orang pertama dan mungkin terakhir yang mendapat kesempatan membaca diari itu. Diari itu purba, sepurba wajah nenek. Diari itu adalah orang kepercayaan yang dibeli nenek untuk menyimpan semua ceritanya.

Habis. Nenek telah tertidur. Pulas sekali. Aku membaca letih di sana. Menghitung kerutan dahinya. Kerutan itu tumbuh seiring usia, kekhawatiran, kesenangan, kesusahan, dan sebuah rahasia—diari—yang disimpannya bertahun-tahun lamanya. Dan tak bisa dibayangkan ia harus usai terbaca pada malam ini. Ya, segala sesuatu akan ada saatnya terjadi.

Aku memutuskan menutup diri itu. Tapi, aku penasaran oleh benda yang teraba tanganku di lembaran terakhir. Sesuatu tersimpan dalam kertas serupa amplop dan dilem kuat-kuat. Aku buka. Dan aku terkejut. Ada wajah di sana: wajah hitam-putih yang mirip wajahku namun sedikit kusam. Pelan-pelan kubalik belakang foto itu. Samsul. Begitulah nama yang tertera di sana.

Makassar, 2008

KABAR UNTUKMU TUHAN!!!!!!!!!

_Adhyet

Malam itu sudah larut, jalan raya sudah sepi dari hiruk pikuk kendaraan, yang di siang hari menumpuk seperti rentetan serangga yang berebut makan. Aku masih diatas sebuah angkutan kota menuju rumahku, tapi saat itu memang tidak aku sendiri yang tertolong oleh jasa seorang pria berkulit hitam berbadan kepal, pria itu menolong kami ditiap sisi jalan yang mencoba kembali keperaduan masing-masing setelah beraktivitas seharian. Dia mungkin jadi penolong kami di malam itu. Bagaimana tidak, di saat seperti itu aku yakin orang-orang sudah meluruskan kaki atau menggauli istrinya. Tapi pria itu lebih memilih memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk mencari uang.

Ketika ujung setapak rumahku mulai nampak, aku pun menyuruhnya untuk berhenti, kubayarnya dengan tarif yang baru. Maklumlah BBM kemarin telah mengalami peningkatan harga yang sangat, tak lupa ku berterimakasih padanya. Kulanjutkan langkahku kemudian masuk kerumah, tapi sebelum itu aku mendapat ceramah seremonial ibuku akibat pulang larut, telah kujelaskan alasanku kucoba jadi orang jujur sedunia. Tapi alasan diskusi BBM dilanjutkan konsolidasi untuk aksi tolak naiknya BBM tak ampuh malah aku dianggap mahasiswa tidak ada kerjaan, setelah itu aku beranjak ke kamar dan melepaskan bajuku yang penuh debu akibat aksi siang tadi, kurebahkan tubuhku di kasur yang cukup empuk walaupun tak seperti kasur orang-orang di istana negara, sambil kuingat kejadian-kejadian yang kualami tadi dengan kepala memandang kelangit-langit kamar.

“Anjing tak berperasaan”, gumamku sebelum tidur, hingga kata-kata itu ibarat sebuah doa sebelum tidur. Lalu aku bangkit dari tempat tidur kemudian pergi berwudhu lalu melaksanakan shalat kemudian aku mengadu pada-Nya.

”kebijakan yang dikeluarkan pemimpin negari ini yang menyebabkan aku sampai terlambat pulang, sopir angkot atau orang yang harus bekerja dimalam hari, rela melepaskan nikmatnya kasur empuk, kebijakan itu yang membuat istri-istri tak dinafkahi secara birahi. Kebijakan itu yang membuat aku jadi seorang anak durhaka menurut ibuku. Kebijakan itu membuat aku tidak masuk final test semester—bertepatan dengan aksi siang tadi. Kebijakan itu yang membuatku diputuskan oleh kekasihku yang kusayang hanya karna aku tak dapat lagi mengajaknya jalan, harga tiket twenty one naik ditambah lagi kulitku yang semaki hitam dan dekil karena debu aksi. Bukan cuma itu luka yang diberikan APARAT yang refresif ini seperti hadiah buat kami yang membela diri, rakyat kecil termasuk dirinya dan keluarganya. Kebijakan itu yang membuatku LUPA PADAMU YA TUHANKU, sampai saat aku sujud pun saat ini aku masih mengingatnya ingat bukan cuma ini saja masih banyak keluhan orang-orang yang lebih menderita yang harus Kau dengarkan, jika apa yang kulakukan dan kukatakan benar maka PENGUASA itu harus tumbang dan berikanlah kami REVOLUSI sebagai hadiah perjuangan kami.”

Setelah itu akupun kembali tidur dan matahari terbit di sebelah barat suara gemuruh jutaan manusia tumpah kejalan, sambil meneriakkan R…E..V…O…L…U..S...I! aku tak percaya inikah revolusi yang sering dibicarakan kawan-kawanku atau ini sudah kiamat akibat kekuasaan yang menindas???????? Aku jatuh dari tempat tidur dan seketika tersadar semua itu adalah mimpi. Aku bergegas mandi dan berangkat ke kampus untuk melakukan aksi besar-besaran yang telah disepakati. Akhirnya targetan kami tercapai; BENTROK tak terelakkan. Setelah itu aku ke depan komputer lalu menuliskan ini semua.

Gerakan Mahasiswa, Fenomena Gerakan Abu-abu

Konsepsi Mahasiswa

Mahasiswa adalah sebutan untuk mereka yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, ataupun kelas elitnya para intelektual. Setiap saat berhadapan dengan realitas berbeda mengenai kebijakan ekonomi politik negara maupun realitas palsu yang diciptakan oleh pemodal dan birokrasi serakah melalui kerangka media. Setiap saat yang namanya mahasiswa ini akan berhadapan dengan ruang kuliah yang dosennya lebih banyak merepresentasikan pengalaman dan kesuksesannya dibandingkan mencoba menjadi orang yang tampil kecil bahkan kritis. Setiap itu pula ada mahasiswa yang tersadar, tidak perduli atau larut dalam halusinasi sesat dosen. Bukan itu saja, kurikulum pendidikan yang berbasis konvensional masih saja diadopsi sehingga pola berpikir peserta didik pun layaknya mesin yang mulai dari onderdil hingga praktek kerja hampir sama. Ber-Mahasiswa seolah dianggap jenjang merebut partisipasi politik. Sehingga ada yang rela menjadi perpanjangan tangan partai politik, berstatus quo ria, ataupun menjadi tipe yang tidak lazim.

Mahasiswa kerap diidentikkan dengan gerakan massa yang memiliki power. Tetapi juga diklasifikasikan sebagai subyek yang terlibat perebutan kursi di “Senayan”. Dalam bingkai politik tentu, yang tidak putusnya menciptakan lingkaran setan kekuasaan. Politik merupakan hal yang paling ditakuti di satu sisi karena potret buram tentang orang yang berkhianat maupun melegitimasi kepentingan pasar dan perut. Namun, nikmat di sisi yang lain karena merupakan kendaraan untuk memperoleh kekuasaan, dan siapa yang tidak tergoda dengan yang satu ini? Sisi manusia dengan potensi keserakahan sebenarnya diuji disini, apalagi untuk zaman sekarang yang pemerintahnya lebih sering mengisi dompet sendiri dibandingkan memberi sesuap nasi kepada rakyat. Intinya, dapat cepat kaya dengan cara seperti ini.

Moral force merupakan gerakan awal yang pernah diusung. Akan tetapi , tidak begitu mampu membuat perubahan signifikan terhadap posisi kekuasaan yang kuat, pula begitu ketinggalan untuk pola pengakaran gerakan. Kekuatan politik yang bersumber pada kebijakan negara, serta merta hanya dapat disentuh oleh isu ataupun tuntutan yang politis pula. Kewajiban mahasiswa dilandasi oleh posisi kelas yang bisa mengidentifikasi benar atau tidak pemerintah menjalankan amanatnya. Sehingga kewajiban dan pengabdian yang sejati ialah kembali kepada rakyat. Akan tetapi realitasnya, mahasiswa lebih banyak merelakan dirinya terjerumus dalam arus politik partai tertentu maupun penjaja permanen ekstasi gaya hidup ala kapitalisme.

“Perubahan” merupakan pondasi untuk bergerak. Sehingga titik akhir perjuangan ada pada konsekuensi ini. Mahasiswa mesti jadi pelopor perubahan, yakni penggerak revolusi sejati. Kita juga harus kembali kepada hakekat dasar kemanusiaaan dan kewajiban akan keilmuan.

Apakah benar kita telah menjadi orang yang berilmu? Sebab orang yang berilmu akan mempraktekan pengetahuannya dan tidak bungkam melihat realitas sosial yang tidak wajar. Sebagaimana kegelisahan orang-orang yang rela wajah dan tubuhnya dijilat terik matahari dan menghirup asap knalpot kendaraan serta berteriak meminta kembalinya Freeport, Inco, serta tanah rakyat tidak digusur. Negeri yang kaya tapi diperdaya oleh kepentingan segelintir orang ini sebenarnya telah patut kita perhatikan. Jangan lagi ada Dg Basse-Dg Basse baru, yang mati di lumbung padi ataupun amarah (April Makassar Berdarah) baru yang timbul dalam negara hukum yang ingin menegakkan supremasi hukum.

Kalau menurut Karl Marx, bahwa para filsuf banyak mengartikan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting sebenarnya adalah merubahnya. Dalam artian teori keilmuan yang selama ini kita peroleh harus dikembalikan pada muatan materilnya yakni praktek. Praktek perjuangan dalam gerakan di mana pun, posisi mahasiswa terhadap penguasa harus selalu kritis, bahkan jika bisa menjadi katalisator bagi tergulingnya sebuah rezim yang tidak demokratis. Demokratisasi ini pula perlu ditegakkan di dalam kampus yang memenjarakan ruang-ruang kemerdekaan berpendapat.

Mahasiswa Makassar Menghadapi Angkatan Barbar

Pendekatan "moncong senapan"
telah menjadi prosedur standar militer di Indonesia dalam menghadapi
setiap oposisi politik terbuka dari rakyat kebanyakan. Peristiwa Aceh,
Lampung, Tanjungpriok, Nipah, Timika dan Timor Timur, serta penggusuran
paksa para petani dan pembunuhan buruh Marsinah, merupakan fakta tak
terbantahkan tentang perilaku militer dalam menangani persoalan
sosial-politik di Indonesia. Kami, mahasiswa dan pemuda Indonesia, sangat
mencemaskan masa depan bangsa ini, jika gaya politik barbar seperti itu
masih terus berlanjut (SMID)

Banyak sudah kasus yang menjelaskan betapa bobroknya negara menjalankan roda politiknya. Demonstrasi mahasiswa di Makassar, semenjak Orba hingga saat ini, senantiasa direpresi dengan kekuatan militer bersenjata lengkap. Rakyat yang akan dieksekusi tanahnya pun akan diserang peluru dan hujaman sangkur. Jika kembali pada perjuangan kemerdekaan dahulu, orang-orang yang memegang senjata ataupun bambu runcing itu identik dengan pejuang rakyat. Akan tetapi, sekarang justru kemapanan kehidupan membuat para aparat mulai dari TNI, Polri, Kopassus dsb, seolah-olah menjadi cukong negara dan kapitalisme global. Atau cenderung seperti “anjing penjaga modal”.

Ada beberapa kasus yang membuktikan betapa kerasnya negara ini memperlakukan rakyatnya. Misalnya, peristiwa Amarah (April Makassar Berdarah) tahun 1995 yang menimbulkan 3 korban jiwa, penyerangan aparat ke dalam kampus UMI (2003), kasus eksekusi tanah warga di Jeneponto yang menewaskan Muhammadong dan melukai puluhan orang (2007), kasus mahasiswa Palopo yang direpresi aparat ketika demo mengenai penolakan eksplorasi tambang (2008), kasus represi aparat terhadap mahasiswa Kendari yang menolak penggusuran PK 5 (2008).

Merupakan sederetan peristiwa yang semestinya ditanggapi dengan berbagai pertanyaan, sebenarnya dimana keberpihakan aparat-aparat tersebut? Atau apakah yang mereka pahami tentang kewajiban terhadap negara. Apakah sesungguhnya yang mendominasi negara ini bukan rakyat sesungguhnya, siapakah yang membiayai kehidupan keluarga mereka? Dan untuk apa institusi mereka dibentuk? Seperti apa pula demokratisasi yang selalu diagung-agungkan itu?

April lalu, tepatnya di Ballroom Hotel Clarion, Kapolda Sulsel melakukan sosialisasi kembali mengenai UU No. 9 Tahun 1998 mengenai penyampaian pendapat di muka umum yang menjadi dilema baru bagi kebebasan berpendapat. Pasalnya, aturan ini bertolak belakang dengan spirit yang diusung. UU yang kembali ke permukaan ini, mengatur aspirasi kemanusiaan dengan metode administrasi yang mengekang. Ada yang mengatakan bahwa negara ini kurang kerjaan sehingga harus mengurusi persoalan penertiban demonstrasi, mengapa aparat keamanan negara ini tidak menangkap orang-orang yang lebih jelas merugikan rakyat banyak, misalnya pengkorup uang rakyat.

Sebenarnya kita diminta untuk sedikit cermat mengamati tingkah laku pemerintah yang aneh. Mulai mengatur ketertiban demonstrasi dengan alasan pengamanan terhadap massa aksi, sementara di lain sisi, senang menyukseskan proyek dengan investor asing untuk pembabatan hutan, atau pembukaan pertambangan di area sawah rakyat, eksploitasi tambang minyak dan gas serta menjual aset rakyat atau menjadi pelanggeng kepentingan pemodal. Diantaranya, kasus Lapindo yang tidak mengakomodasi hak warga bahkan telah mencabut jatah makan warga yang dirugikan serta kasus lain yang lebih banyak.

Kepentingan segelintir penguasa inilah yang menciptakan siklus kekerasan struktural yang menindas rakyat. Pemerintah sebagai pengelola kekuasaan negara, pemodal yang memiliki kepentingan pasar serta militer, sebagai angkatan barbar menjadi kolaborasi yang membuat posisi yang tertindas semakin tertindas dan yang berada di dalam arusnya sebagai sentrum kekayaan.

Tidak sampai disitu, kaum agamawan di negara kita mengadopsi kekerasan sama halnya seperti polisi moral dan akhlak, perpanjangan lidah kebijakan negara. Adalah sederet organisasi yang mengatasnamakan agama yang lain untuk menindas keberimanan yang lain dengan pemberian identitas “haram”. Misalnya, kasus pengrusakan tempat ibadah maupun rumah warga yang menganut aliran Ahmadiyah.

Sehingga kebobrokan institusi-institusi ini menjadi roda bagi pembangunan perlawanan massa terhadap cengkeraman Negara.

Gerakan Mahasiswa dan Fenomena Unjuk Rasa

Pembangunan citra yang buruk mengenai gerakan mahasiswa di Makassar diantaranya pengganggu stabilitas umum. Menjadi alat hegemoni pemerintah untuk menjauhkan keterlibatan rakyat dalam momen perubahan sosial politik. Masyarakat yang dirundung kejengkelan ketika mahasiswa menunda perjalanan mereka saat memenuhi badan jalan jadi fenomena tidak simpatiknya masyarakat terhadap gerakan mahasiswa. Alhasil, isu yang sebenarnya disuarakan mahasiswa dekat dengan mereka namun gaungnya tidak kesampaian.

Akhir-akhir ini, gerakan mahasiswa pula kurang peka terhadap isu kerakyatan. Contohnya, mahasiswa baru bergerak ketika dampak kebijakan yang kurang populis dari pemerintah langsung mengujam ketenangan mereka di kampus. Sementara di luar sana, masih banyak pelanggaran HAM yang tidak tuntas, ada kasus sengketa tanah rakyat melawan korporasi yang menunggu uluran tangan, ataupun program sekolah alternatif untuk rakyat kecil. Ketika ada kasus kematian warga Bontoduri karena kelaparan, mahasiswa kurang tanggap untuk memajukan isu pada peningkatan kesejahteraan rakyat, dengan menuntut tanggung jawab pemerintah. Justru euforia sebagai kaum intelektual lebih direkatkan dengan aktivitas elegan di kampus misalnya mengikuti seremonial politik untuk merebut lembaga atau menyebar khutbah-khutbah yang tidak berkorelasi dengan kenyataan hidup dan pengambilan hak.

Kampus bukan lagi jadi tempatnya orang-orang yang ingin melakukan perubahan, namun jadi penjara ide-ide besar karena sebagian mahasiswa memilih untuk mengkeramatkan idenya di pelataran Baruga, di ruang Seminar, di kantin, dan setelahnya tertidur di pondokan bersama idenya.

Setelah beberapa lama gerakan rakyat Makassar dan mahasiswa berjalan sendiri-sendiri, akhirnya ada kesepahaman untuk membangun sebuah ruang perlawanan dengan tipikal tertentu. Diantaranya, Solidaritas Rakyat Anti Kekerasan (Sorak), Solidaritas Rakyat untuk Kassi-kassi dan Bontoduri, Gerakan Rakyat Makassar (Geram), Forum Perjuangan Rakyat Menggugat (FPRM). Fenomena bersatunya elemen yang terdiri atas mahasiswa, serikat rakyat, buruh, dan NGO menjadi varian tersendiri dalam mengadvokasi kasus rakyat. Misalnya, Geram yang fokus pada isu pendidikan, Sorak yang fokus kepada kasus kekerasan terhadap rakyat, dan Solidaritas untuk Kassi-kassi dan Bontoduri pada masalah sengketa kasus tanah warga di kecamatan bersangkutan, dan FPRM merupakan front konsolidasi hari buruh. Dengan gerakan yang terorganisir dan permanen seperti ini upaya mengadvokasi kasus rakyat pula dapat disukseskan. Sehingga konsolidasi gerakannya besar dan sebuah ancang untuk revolusi pada suatu saat nanti.

Sebelumnya permasalahan mengenai gerakan mahasiswa dan rakyat periode 1998 yaitu adanya platform (bentuk dasar) yang beragam dari berbagai organ yang belum dapat dipertemukan. Sehingga strategi/taktik bersama untuk merespon perkembangan ekonomi politik pasca kediktatoran Soeharto pun belum berhasil dirumuskan. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya problem individualis dari masing-masing organ pergerakan yang ada. Serta kemunculan reformis gadungan yang sama sekali tidak membawa spirit perubahan, akan tetapi masih diberi kesempatan oleh rakyat untuk memimpin, dengan tetap mengadopsi kebijakan rezim orba dan kebijakan neoliberal.

Hal yang terpenting, semua itikad pengawalan tersebut berakar pada analisis yang sama mengenai pemerintah yang tidak pro rakyat, serta upaya sistematis untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, sejarah yang pernah mengukir perpecahan karena perbedaan kepentingan tidak boleh dilupakan begitu saja. Setidaknya menjadi motivasi untuk sekedar menghilangkan pragmatisme gerakan. Ataupun meradikalkan perlawanan massa dengan mendekatkan mereka dengan realitas yang menindas dan dominasi kaum elit agar merakyatlah seluruh perangkat perubahan itu.

Ketika kita melihat lebih dekat perjuangan mereka maka akan timbul pertanyaan sampai kapan front aksi seperti ini akan bertahan? Apakah akan disesuaikan dengan target yang mereka kawal? Setelah itu pantaskah gerakan ini pulang ke rumah untuk tertidur lagi? Rasanya, gerakan yang terpisah-pisah tidak pula tidak memiliki kemampuan untuk membuat gebrakan, apa iya?

“Perjalanan sebuah front memang timbulnya dari penyesuaian keinginan-keinginan anggota dan bertemu pada satu titik dengan strategi yang akan diperbincangkan bersama. Tentu saja akan ada target yang relevan pula dengan tipikal masing-masing organisasi. Perjalanan perubahan besar tidak pula harus disandarkan pada persoalan kuantitas. Pulang ke rumah pun tidak berarti tertidur tapi dapat berarti mengkonsolidasikan kekuatan baru untuk memajukan isu baru pula. Maka penting untuk membuat praktek organisasi maju dengan pembacaan geopolitik. Dan perumusan langkah progresif itu yang terpenting,” tutur Aminude dari FMN Makassar.

Masa Depan Gerakan Rakyat

Gerakan rakyat sesungguhnya harus mulai diinjeksikan oleh mahasiswa dengan memperlebar basis untuk merangkul kepentingan rakyat. Diluar kampus perlu pengorganisiran yang cermat terhadap obyek kontradiksi pokok dari kebijakan negara serta situasi kapitalisme global misalnya buruh dan petani. Program perjuangan pun semestinya lebih komprehensif serta terstruktur ini untuk pola perjuangan ke depan yang hak otoritasnya bukan hanya pada mahasiswa saja.

“Ideologisasi” merupakan skala prioritas bagaimana membangun kesadaran yang mapan, yang tidak bertumpu pada momentum saja. Perlu ditekankan bahwa injeksi ideologisasi ini tidak selalu mengacu pada aliran politik tertentu, tetapi tingkat radikalisme dan militansi seseorang. Bahwa sesungguhnya menggerakkan revolusi harus pula dengan gerakan revolusioner.

Fenomena gerakan Makassar harus mulai tanggap terhadap konstalasi politik negara dan kinerja pemerintah. Menjadi awal yang baik untuk memulai membangun kembali perjuangan untuk menebus kesalahan Reformasi’98 yang hampir tidak ada bedanya dengan sebelumnya. Sepuluh tahun Reformasi dan 100 tahun kebangkitan Nasional hanya menjadi perayaan yang tidak ada bedanya dengan hari libur biasa. Belum ada perubahan semenjak perjuangan besar itu. Malah rakyat tetap dihujani oleh praktek politik dan kebijakan yang tidak populis mulai dari rencana kenaikan BBM pada awal bulan Juni 2008 hingga ancaman krisis pangan. Yang bakal menjadi bencana kemanusiaan yang mestinya mulai di perhatikan serta dicari solusinya.Yang mengemuka dari sebuah gerakan bukan kuantitas entitas yang ada di dalamnya tetapi kemampuan melakukan pressure (tekanan) terhadap kebijakan negara.(ftry)

_Catatan Utama Bulletin Caka Edisi I Mei 2008