Selasa, 24 Juni 2008

Gerakan Mahasiswa, Fenomena Gerakan Abu-abu

Konsepsi Mahasiswa

Mahasiswa adalah sebutan untuk mereka yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, ataupun kelas elitnya para intelektual. Setiap saat berhadapan dengan realitas berbeda mengenai kebijakan ekonomi politik negara maupun realitas palsu yang diciptakan oleh pemodal dan birokrasi serakah melalui kerangka media. Setiap saat yang namanya mahasiswa ini akan berhadapan dengan ruang kuliah yang dosennya lebih banyak merepresentasikan pengalaman dan kesuksesannya dibandingkan mencoba menjadi orang yang tampil kecil bahkan kritis. Setiap itu pula ada mahasiswa yang tersadar, tidak perduli atau larut dalam halusinasi sesat dosen. Bukan itu saja, kurikulum pendidikan yang berbasis konvensional masih saja diadopsi sehingga pola berpikir peserta didik pun layaknya mesin yang mulai dari onderdil hingga praktek kerja hampir sama. Ber-Mahasiswa seolah dianggap jenjang merebut partisipasi politik. Sehingga ada yang rela menjadi perpanjangan tangan partai politik, berstatus quo ria, ataupun menjadi tipe yang tidak lazim.

Mahasiswa kerap diidentikkan dengan gerakan massa yang memiliki power. Tetapi juga diklasifikasikan sebagai subyek yang terlibat perebutan kursi di “Senayan”. Dalam bingkai politik tentu, yang tidak putusnya menciptakan lingkaran setan kekuasaan. Politik merupakan hal yang paling ditakuti di satu sisi karena potret buram tentang orang yang berkhianat maupun melegitimasi kepentingan pasar dan perut. Namun, nikmat di sisi yang lain karena merupakan kendaraan untuk memperoleh kekuasaan, dan siapa yang tidak tergoda dengan yang satu ini? Sisi manusia dengan potensi keserakahan sebenarnya diuji disini, apalagi untuk zaman sekarang yang pemerintahnya lebih sering mengisi dompet sendiri dibandingkan memberi sesuap nasi kepada rakyat. Intinya, dapat cepat kaya dengan cara seperti ini.

Moral force merupakan gerakan awal yang pernah diusung. Akan tetapi , tidak begitu mampu membuat perubahan signifikan terhadap posisi kekuasaan yang kuat, pula begitu ketinggalan untuk pola pengakaran gerakan. Kekuatan politik yang bersumber pada kebijakan negara, serta merta hanya dapat disentuh oleh isu ataupun tuntutan yang politis pula. Kewajiban mahasiswa dilandasi oleh posisi kelas yang bisa mengidentifikasi benar atau tidak pemerintah menjalankan amanatnya. Sehingga kewajiban dan pengabdian yang sejati ialah kembali kepada rakyat. Akan tetapi realitasnya, mahasiswa lebih banyak merelakan dirinya terjerumus dalam arus politik partai tertentu maupun penjaja permanen ekstasi gaya hidup ala kapitalisme.

“Perubahan” merupakan pondasi untuk bergerak. Sehingga titik akhir perjuangan ada pada konsekuensi ini. Mahasiswa mesti jadi pelopor perubahan, yakni penggerak revolusi sejati. Kita juga harus kembali kepada hakekat dasar kemanusiaaan dan kewajiban akan keilmuan.

Apakah benar kita telah menjadi orang yang berilmu? Sebab orang yang berilmu akan mempraktekan pengetahuannya dan tidak bungkam melihat realitas sosial yang tidak wajar. Sebagaimana kegelisahan orang-orang yang rela wajah dan tubuhnya dijilat terik matahari dan menghirup asap knalpot kendaraan serta berteriak meminta kembalinya Freeport, Inco, serta tanah rakyat tidak digusur. Negeri yang kaya tapi diperdaya oleh kepentingan segelintir orang ini sebenarnya telah patut kita perhatikan. Jangan lagi ada Dg Basse-Dg Basse baru, yang mati di lumbung padi ataupun amarah (April Makassar Berdarah) baru yang timbul dalam negara hukum yang ingin menegakkan supremasi hukum.

Kalau menurut Karl Marx, bahwa para filsuf banyak mengartikan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting sebenarnya adalah merubahnya. Dalam artian teori keilmuan yang selama ini kita peroleh harus dikembalikan pada muatan materilnya yakni praktek. Praktek perjuangan dalam gerakan di mana pun, posisi mahasiswa terhadap penguasa harus selalu kritis, bahkan jika bisa menjadi katalisator bagi tergulingnya sebuah rezim yang tidak demokratis. Demokratisasi ini pula perlu ditegakkan di dalam kampus yang memenjarakan ruang-ruang kemerdekaan berpendapat.

Mahasiswa Makassar Menghadapi Angkatan Barbar

Pendekatan "moncong senapan"
telah menjadi prosedur standar militer di Indonesia dalam menghadapi
setiap oposisi politik terbuka dari rakyat kebanyakan. Peristiwa Aceh,
Lampung, Tanjungpriok, Nipah, Timika dan Timor Timur, serta penggusuran
paksa para petani dan pembunuhan buruh Marsinah, merupakan fakta tak
terbantahkan tentang perilaku militer dalam menangani persoalan
sosial-politik di Indonesia. Kami, mahasiswa dan pemuda Indonesia, sangat
mencemaskan masa depan bangsa ini, jika gaya politik barbar seperti itu
masih terus berlanjut (SMID)

Banyak sudah kasus yang menjelaskan betapa bobroknya negara menjalankan roda politiknya. Demonstrasi mahasiswa di Makassar, semenjak Orba hingga saat ini, senantiasa direpresi dengan kekuatan militer bersenjata lengkap. Rakyat yang akan dieksekusi tanahnya pun akan diserang peluru dan hujaman sangkur. Jika kembali pada perjuangan kemerdekaan dahulu, orang-orang yang memegang senjata ataupun bambu runcing itu identik dengan pejuang rakyat. Akan tetapi, sekarang justru kemapanan kehidupan membuat para aparat mulai dari TNI, Polri, Kopassus dsb, seolah-olah menjadi cukong negara dan kapitalisme global. Atau cenderung seperti “anjing penjaga modal”.

Ada beberapa kasus yang membuktikan betapa kerasnya negara ini memperlakukan rakyatnya. Misalnya, peristiwa Amarah (April Makassar Berdarah) tahun 1995 yang menimbulkan 3 korban jiwa, penyerangan aparat ke dalam kampus UMI (2003), kasus eksekusi tanah warga di Jeneponto yang menewaskan Muhammadong dan melukai puluhan orang (2007), kasus mahasiswa Palopo yang direpresi aparat ketika demo mengenai penolakan eksplorasi tambang (2008), kasus represi aparat terhadap mahasiswa Kendari yang menolak penggusuran PK 5 (2008).

Merupakan sederetan peristiwa yang semestinya ditanggapi dengan berbagai pertanyaan, sebenarnya dimana keberpihakan aparat-aparat tersebut? Atau apakah yang mereka pahami tentang kewajiban terhadap negara. Apakah sesungguhnya yang mendominasi negara ini bukan rakyat sesungguhnya, siapakah yang membiayai kehidupan keluarga mereka? Dan untuk apa institusi mereka dibentuk? Seperti apa pula demokratisasi yang selalu diagung-agungkan itu?

April lalu, tepatnya di Ballroom Hotel Clarion, Kapolda Sulsel melakukan sosialisasi kembali mengenai UU No. 9 Tahun 1998 mengenai penyampaian pendapat di muka umum yang menjadi dilema baru bagi kebebasan berpendapat. Pasalnya, aturan ini bertolak belakang dengan spirit yang diusung. UU yang kembali ke permukaan ini, mengatur aspirasi kemanusiaan dengan metode administrasi yang mengekang. Ada yang mengatakan bahwa negara ini kurang kerjaan sehingga harus mengurusi persoalan penertiban demonstrasi, mengapa aparat keamanan negara ini tidak menangkap orang-orang yang lebih jelas merugikan rakyat banyak, misalnya pengkorup uang rakyat.

Sebenarnya kita diminta untuk sedikit cermat mengamati tingkah laku pemerintah yang aneh. Mulai mengatur ketertiban demonstrasi dengan alasan pengamanan terhadap massa aksi, sementara di lain sisi, senang menyukseskan proyek dengan investor asing untuk pembabatan hutan, atau pembukaan pertambangan di area sawah rakyat, eksploitasi tambang minyak dan gas serta menjual aset rakyat atau menjadi pelanggeng kepentingan pemodal. Diantaranya, kasus Lapindo yang tidak mengakomodasi hak warga bahkan telah mencabut jatah makan warga yang dirugikan serta kasus lain yang lebih banyak.

Kepentingan segelintir penguasa inilah yang menciptakan siklus kekerasan struktural yang menindas rakyat. Pemerintah sebagai pengelola kekuasaan negara, pemodal yang memiliki kepentingan pasar serta militer, sebagai angkatan barbar menjadi kolaborasi yang membuat posisi yang tertindas semakin tertindas dan yang berada di dalam arusnya sebagai sentrum kekayaan.

Tidak sampai disitu, kaum agamawan di negara kita mengadopsi kekerasan sama halnya seperti polisi moral dan akhlak, perpanjangan lidah kebijakan negara. Adalah sederet organisasi yang mengatasnamakan agama yang lain untuk menindas keberimanan yang lain dengan pemberian identitas “haram”. Misalnya, kasus pengrusakan tempat ibadah maupun rumah warga yang menganut aliran Ahmadiyah.

Sehingga kebobrokan institusi-institusi ini menjadi roda bagi pembangunan perlawanan massa terhadap cengkeraman Negara.

Gerakan Mahasiswa dan Fenomena Unjuk Rasa

Pembangunan citra yang buruk mengenai gerakan mahasiswa di Makassar diantaranya pengganggu stabilitas umum. Menjadi alat hegemoni pemerintah untuk menjauhkan keterlibatan rakyat dalam momen perubahan sosial politik. Masyarakat yang dirundung kejengkelan ketika mahasiswa menunda perjalanan mereka saat memenuhi badan jalan jadi fenomena tidak simpatiknya masyarakat terhadap gerakan mahasiswa. Alhasil, isu yang sebenarnya disuarakan mahasiswa dekat dengan mereka namun gaungnya tidak kesampaian.

Akhir-akhir ini, gerakan mahasiswa pula kurang peka terhadap isu kerakyatan. Contohnya, mahasiswa baru bergerak ketika dampak kebijakan yang kurang populis dari pemerintah langsung mengujam ketenangan mereka di kampus. Sementara di luar sana, masih banyak pelanggaran HAM yang tidak tuntas, ada kasus sengketa tanah rakyat melawan korporasi yang menunggu uluran tangan, ataupun program sekolah alternatif untuk rakyat kecil. Ketika ada kasus kematian warga Bontoduri karena kelaparan, mahasiswa kurang tanggap untuk memajukan isu pada peningkatan kesejahteraan rakyat, dengan menuntut tanggung jawab pemerintah. Justru euforia sebagai kaum intelektual lebih direkatkan dengan aktivitas elegan di kampus misalnya mengikuti seremonial politik untuk merebut lembaga atau menyebar khutbah-khutbah yang tidak berkorelasi dengan kenyataan hidup dan pengambilan hak.

Kampus bukan lagi jadi tempatnya orang-orang yang ingin melakukan perubahan, namun jadi penjara ide-ide besar karena sebagian mahasiswa memilih untuk mengkeramatkan idenya di pelataran Baruga, di ruang Seminar, di kantin, dan setelahnya tertidur di pondokan bersama idenya.

Setelah beberapa lama gerakan rakyat Makassar dan mahasiswa berjalan sendiri-sendiri, akhirnya ada kesepahaman untuk membangun sebuah ruang perlawanan dengan tipikal tertentu. Diantaranya, Solidaritas Rakyat Anti Kekerasan (Sorak), Solidaritas Rakyat untuk Kassi-kassi dan Bontoduri, Gerakan Rakyat Makassar (Geram), Forum Perjuangan Rakyat Menggugat (FPRM). Fenomena bersatunya elemen yang terdiri atas mahasiswa, serikat rakyat, buruh, dan NGO menjadi varian tersendiri dalam mengadvokasi kasus rakyat. Misalnya, Geram yang fokus pada isu pendidikan, Sorak yang fokus kepada kasus kekerasan terhadap rakyat, dan Solidaritas untuk Kassi-kassi dan Bontoduri pada masalah sengketa kasus tanah warga di kecamatan bersangkutan, dan FPRM merupakan front konsolidasi hari buruh. Dengan gerakan yang terorganisir dan permanen seperti ini upaya mengadvokasi kasus rakyat pula dapat disukseskan. Sehingga konsolidasi gerakannya besar dan sebuah ancang untuk revolusi pada suatu saat nanti.

Sebelumnya permasalahan mengenai gerakan mahasiswa dan rakyat periode 1998 yaitu adanya platform (bentuk dasar) yang beragam dari berbagai organ yang belum dapat dipertemukan. Sehingga strategi/taktik bersama untuk merespon perkembangan ekonomi politik pasca kediktatoran Soeharto pun belum berhasil dirumuskan. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya problem individualis dari masing-masing organ pergerakan yang ada. Serta kemunculan reformis gadungan yang sama sekali tidak membawa spirit perubahan, akan tetapi masih diberi kesempatan oleh rakyat untuk memimpin, dengan tetap mengadopsi kebijakan rezim orba dan kebijakan neoliberal.

Hal yang terpenting, semua itikad pengawalan tersebut berakar pada analisis yang sama mengenai pemerintah yang tidak pro rakyat, serta upaya sistematis untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, sejarah yang pernah mengukir perpecahan karena perbedaan kepentingan tidak boleh dilupakan begitu saja. Setidaknya menjadi motivasi untuk sekedar menghilangkan pragmatisme gerakan. Ataupun meradikalkan perlawanan massa dengan mendekatkan mereka dengan realitas yang menindas dan dominasi kaum elit agar merakyatlah seluruh perangkat perubahan itu.

Ketika kita melihat lebih dekat perjuangan mereka maka akan timbul pertanyaan sampai kapan front aksi seperti ini akan bertahan? Apakah akan disesuaikan dengan target yang mereka kawal? Setelah itu pantaskah gerakan ini pulang ke rumah untuk tertidur lagi? Rasanya, gerakan yang terpisah-pisah tidak pula tidak memiliki kemampuan untuk membuat gebrakan, apa iya?

“Perjalanan sebuah front memang timbulnya dari penyesuaian keinginan-keinginan anggota dan bertemu pada satu titik dengan strategi yang akan diperbincangkan bersama. Tentu saja akan ada target yang relevan pula dengan tipikal masing-masing organisasi. Perjalanan perubahan besar tidak pula harus disandarkan pada persoalan kuantitas. Pulang ke rumah pun tidak berarti tertidur tapi dapat berarti mengkonsolidasikan kekuatan baru untuk memajukan isu baru pula. Maka penting untuk membuat praktek organisasi maju dengan pembacaan geopolitik. Dan perumusan langkah progresif itu yang terpenting,” tutur Aminude dari FMN Makassar.

Masa Depan Gerakan Rakyat

Gerakan rakyat sesungguhnya harus mulai diinjeksikan oleh mahasiswa dengan memperlebar basis untuk merangkul kepentingan rakyat. Diluar kampus perlu pengorganisiran yang cermat terhadap obyek kontradiksi pokok dari kebijakan negara serta situasi kapitalisme global misalnya buruh dan petani. Program perjuangan pun semestinya lebih komprehensif serta terstruktur ini untuk pola perjuangan ke depan yang hak otoritasnya bukan hanya pada mahasiswa saja.

“Ideologisasi” merupakan skala prioritas bagaimana membangun kesadaran yang mapan, yang tidak bertumpu pada momentum saja. Perlu ditekankan bahwa injeksi ideologisasi ini tidak selalu mengacu pada aliran politik tertentu, tetapi tingkat radikalisme dan militansi seseorang. Bahwa sesungguhnya menggerakkan revolusi harus pula dengan gerakan revolusioner.

Fenomena gerakan Makassar harus mulai tanggap terhadap konstalasi politik negara dan kinerja pemerintah. Menjadi awal yang baik untuk memulai membangun kembali perjuangan untuk menebus kesalahan Reformasi’98 yang hampir tidak ada bedanya dengan sebelumnya. Sepuluh tahun Reformasi dan 100 tahun kebangkitan Nasional hanya menjadi perayaan yang tidak ada bedanya dengan hari libur biasa. Belum ada perubahan semenjak perjuangan besar itu. Malah rakyat tetap dihujani oleh praktek politik dan kebijakan yang tidak populis mulai dari rencana kenaikan BBM pada awal bulan Juni 2008 hingga ancaman krisis pangan. Yang bakal menjadi bencana kemanusiaan yang mestinya mulai di perhatikan serta dicari solusinya.Yang mengemuka dari sebuah gerakan bukan kuantitas entitas yang ada di dalamnya tetapi kemampuan melakukan pressure (tekanan) terhadap kebijakan negara.(ftry)

_Catatan Utama Bulletin Caka Edisi I Mei 2008

Tidak ada komentar: