Selasa, 24 Juni 2008

Sengketa Tanah Kassi-Kassi,

Pada tanggal 11 September 2007, akhirnya hakim Pengadilan Negeri memutuskan bahwa sebidang tanah di Kelurahan Kassi-kassi yang digugat oleh pengusaha Rizal Tandiawan, dimenangkan oleh warga Kassi-kassi. Rizal Tandiawan melalui kuasa hukumnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Masalahnya, pengajuan banding yang diterima Pengadilan Tinggi telah melewati batas waktu yang ditentukan, yaitu 14 hari setelah pembacaan putusan. Akibatnya, warga Kassi-kassi harus terancam kembali kehilangan tanah yang seharusnya sudah menjadi milik mereka. Sekali lagi, indikasi praktek mafia peradilan mulai terlihat dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Sejarah Tanah Adat

Tanah seluas 8.400 m2 yang menjadi sengketa bertempat di RT. 5 RW 10 Kecamatan Rappocini, Kelurahan Kassi-kassi, merupakan tanah adat dari kerajaan Gowa, berdasarkan Surat Rincik Tanah, Persil No. 48 CII, Kohir No. 9 Cl. Kemudian berdasarkan Mahkamah Syariat di Makassar maka ditetapkan tertanggal 3 Mei 1979, Andi Muda Dg. Serang bersama saudara dan sepupunya sebagai yang berhak atas tanah tersebut. Kemudian tahun 1996, A. Muda Dg. Serang memberikan kuasa kepada dua orang untuk menjual lahan tersebut, yakni Petta Indar dan Zaenab Dg. Tarring. Berdasarkan surat kuasa penjualan, mereka menjual tanah kepada warga yang sekarang menguasai tanah secara cicilan berdasarkan surat perjanjian cicilan tanah. Dan terhadap warga yang sudah melunasi pembayaran, akan diperkuat bukti kepemilikannya dengan Akta Notaris/PPAT antara ahli waris A. Muda Dg. Serang kepada warga.

”Awalnya yang memiliki tanah ini adalah Bunta Karaeng Madalle, lalu diwariskan kepada Andi Muda Dg. Serang. Melalui makelar Andi Muda Dg. Serang yang bernama Petta Indar dan Zaenab Dg. Taring, kami membeli dengan cara menyicil tanah ini mulai tahun 1997 hingga 2000. Kondisi tanah pada waktu itu terendam air setinggi leher. Kemudian warga secara swadaya menimbun air dengan tanah hingga dapat ditempati,” tutur Daeng Mussu, salah seorang warga Kassi-kassi yang berada di garis depan dalam memperjuangkan tanah warga Kassi-kassi. Tanah tersebut dihuni sekitar 63 KK (Kepala Keluarga) atau 500 warga. Sebahagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh bangunan, tukang becak, sopir angkutan umum, dan sebagainya.

Selain dari lokasi tanah yang sekarang dimiliki dan dikuasai warga, tiba-tiba tahun 1998 Rizal Tandiawan, pemilik saham PT. Sinar Galesong Pratama, mengklaim tanah warga Kassi-kassi sebelah selatan tanah warga sebagai miliknya. Orang-orang Rizal membangun pondasi tahun 1998 lalu tahun 2003 mereka membangun tembok sebagai batas tanah. ”Sebenarnya dasar klaim tanah Rizal Tandiawan adalah tanah Khaerani Sula Lipu seluas 12.367 m2. Sertifikat tanah Khaerani Sula Lipu dijaminkan di Bank Bumi Daya, lalu dimenangkan oleh Rizal Tandiawan. Kalau tanah yang itu, benar adalah miliknya. Tapi masalahnya, ia berusaha memperlebar klaim lokasi hingga ke sebelah utara, tepatnya tanah warga kassi-kassi yang sekarang,” tambah lelaki paruh baya itu.

Pertahanan panjang menuju kemenangan awal

Anehnya tahun 2006, pihak Rizal Tandiawan mengaku sebagai pemilik tanah warga yang luasnya 8.400m2. Dasar klaimnya adalah dari transaksi jual beli antara Ahli Waris Bunta Karaeng Madalle berdasarkan SHM No. 21096/Kassi-kassi Surat Ukur No. 01364/2006, tanggal 05 Juli 2006. Sementara menurut warga, pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak pernah mengukur tanah di lokasi tersebut sejak warga berada disana.

Kemudian pihak Rizal Tandiawan melapor pada kepolisian Makassar Timur. Beberapa polisi kemudian memanggil sejumlah warga ke kantor Polresta Makassar Timur untuk dimintai keterangan. Salah satunya adalah Daeng Musu. ”Saya sempat diinterogasi oleh polisi mengapa membeli tanah tersebut, kepada siapa membeli dan bagaimana kondisinya saat membeli,” jelasnya. Tiga hari setelah diperiksa, polisi memberi Dg. Musu surat panggilan untuk ahli waris (anak dan kemenakan Andi Muda Dg. Serang). Beberapa anaknya, seperti Dg. Ngemba, Dg. Tutu, Haji Bau, dan Dg. Makka yang datang ke polresta langsung ditahan tanpa melalui prosedur pemeriksaan terlebih dahulu. Ia menambahkan bahwa mereka yang ditahan bisa keluar, dengan syarat bertanda tangan diatas kertas kosong. Ternyata tanda tangan tersebut digunakan oleh kuasa hukum Rizal Tandiawan sebagai surat pernyataan bahwa mereka telah keliru menjual tanah.

Beberapa kali diperiksa oleh kepolisian membuat warga memutuskan untuk meminta bantuan hukum kepada lembaga yang pakar dalam kasus ini. ”Pertama-tama kami ke LSM LAPAR di Toddopuli 10. Pada waktu itu, Pak Iqbal, pengacara LAPAR mempertemukan warga dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sejak saat itu YLBHI menjadi kuasa hukum warga,” kenang pria yang mengaku berprofesi buruh bangunan ini.

Selain itu, pihak Rizal Tandiawan pernah mengintimidasi warga agar menjual tanah warga dengan harga 2-5 juta per kapling dengan luas tanah yang bervariasi. Alhasil, 26 KK menjual tanah ke Rizal Tandiawan. Warga yang menjual tanah dinilai telah mengkhianati Andi Muda Dg. Serang karena sebahagian dari mereka yang menjual justru belum melunasi cicilan ke Andi Muda Dg. Serang.

Menanggapi hal ini, Wawan menjelaskan, ”yang terjadi kemarin bukan proses jual beli tanah tapi bentuk intimidasi. Kalau sesuai hukum formil, harus melalui akta jual beli di PTAT. Akan tetapi, masyarakat yang buta hukum akan memilih cara penjualan yang lebih mudah. Melalui PTAT, prosesnya agak lama dan mahal. Sebenarnya yang terjadi, sudah tidak ada kebebasan warga dalam menjual tanahnya sebab pihak Rizal telah melapor ke Polresta Makassar Timur. Jadi warga menandatangani bukti penjualan tanah di bawah teror,” jelasnya.

Menurut warga, awalnya niat kedatangan polisi hendak melakukan proses mediasi. Akan tetapi kenyatannya polisi justru menangkap dan memenjarakan pewaris tanah yang menghalang-halangi proses penjualan tersebut. Orang-orang yang bertanda tangan sebenarnya dalam keadaan merdeka, tapi nyatanya mereka di bawah tekanan polisi. Jadi, waktu itu sama sekali bukan bentuk transaksi, tapi penekanan dan pembodohan.

Warga Kassi-kassi, ahli waris dan YLBHI pun berjuang bersama memenangkan kasus ini. Sebelum kasus ini mulai dibuka di Pengadilan Negeri, warga Kassi-kassi berupaya meminta perlindungan ke komisi A DPRD Makassar. ”Kami tidak direspon sama sekali, malah mereka menyuruh warga meminta bantuan Asisten I Pemkot sebagai mediator negosiasi dengan kuasa hukum Rizal Tandiawan. Akan tetapi proses negosiasi sepertinya berat sebelah, karena menganjurkan warga agar menerima ganti rugi dengan sejumlah uang. Tapi saya katakan bahwa saya tidak akan menerima ganti rugi tetapi saya katakan saya hanya menerima ganti untung,” lanjut Dg. Musu yang bertindak sebagai perwakilan negosiasi warga. Pemerintah mengalkulasi semua biaya yang pernah dikeluarkan warga sejak penimbunan, pondasi, hingga biaya membangun rumah, akan tetapi kuasa hukum Rizal Tandiawan tidak setuju. Dan negosiasi pun batal.

Kegagalan mediasi pemerintahan direspon pihak kuasa hukum Rizal secara emosional, usaha sabotase pun dilakukan. Salah satunya dengan mematok dan membangun pondasi di tanah sengketa. ”Namun saya segera mencabut patok tersebut ketika orang-orang suruhan Rizal telah pergi. Pencabutan patok menyebabkan empat orang warga dipanggil oleh Polresta Makassar Timur. Diantaranya adalah Dahlan, Majid, Dg. Natsir, dan Hamzah, yang sesungguhnya tidak terlibat sama sekali dalam pencabutan patok. Namun dengan bantuan YLBHI, akhirnya Dg. Musu dan empat warga lainnya dapat dilepaskan pihak kepolisian. Seminggu setelahnya pada tahun 2006, kuasa hukum Rizal Tandiawan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri untuk mendapatkan tanah tersebut.

Sumber masalah dari kasus sengketa tanah yang sering terjadi di Makassar terletak pada alat pembuktiannya. Dalam prakteknya, masyarakat kita lebih senang memakai hukum adat, dan tanah adat sangat jarang bukti kepemilikannya. Warga yang menguasai tanah hanya dapat membuktikan lewat penguasaan fisik. Kepemilikan tanah di daerah pedesaan akan lebih mudah dibuktikan dibanding di perkotaan. Daerah perkotaan memiliki banyak pendatang yang mengaburkan sejarah kepemilikan tanah.

Pakar hukum perdata Universitas Hasanuddin, Farida P. Mengemukakan, ”Seorang yang mempunyai tanah harus melakukan pembuktian formil (pembuktian tertulis) untuk mendapatkan kepemilikannya secara sah.” Menurutnya, ada tiga jenis alas hak (dasar hak) Pertama, bukti tertulis seperti sertifikat, rinci, dan akta jual beli, kedua, adalah penguasaan fisik. Persyaratannya minimal 20 tahun dikuasai dan tidak pernah terputus, tidak dipermasalahkan masyarakat sekitar dan ada pengakuan dari masyarakat sekitar bahwa tanah itu juga miliknya, kemudian ada itikad baik dari pemilik tanah. Itikad baik yang dimaksud adalah tanah yang diperoleh bukan hasil dari manipulasi. Misalnya tanah titipan yang dimaksudkan untuk digarap, namun setelah sekian lama diklaim sebagai milik penggarap. Dan ketiga, pernyataan dari yang bersangkutan mengenai sejarah kepemilikan tanah.

Dalam kasus Kassi-kassi ini, warga memegang Surat Rinci dan Rizal Tandiawan sebagai pemegang sertifikat tanah. Bila ditinjau dari segi kekuatan hukum, legalitas sertifikat lebih kuat dibanding dengan kekuatan Surat Rinci sebagai bukti kepemilikan. ”Sertifikat adalah jenis pembuktian formil. Pendaftaran tanah di Indonesia lewat sistem negatif, maka pejabat tanah hanya menerima bukti formal dari yang bersangkutan. Selanjutnya pejabat pertanahan akan memproses dan menelusuri lokasinya. Sedangkan rinci adalah bukti hukum adat yang dipakai sebelum tahun 1960. Dalam prakteknya, jenis pembuktian ini menggambarkan bahwa pemilik telah memiliki hak, hanya tinggal diberikan penegasan hak oleh badan pertanahan”, jelasnya. ”Namun dalam beberapa kasus, warga yang memegang rinci justru memenangkan tanah. Hal ini biasanya terjadi karena bukti lain yang diajukan pihak lain dibuat melalui proses yang tidak benar”, tutur Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Unhas ini.

Setelah dilakukan beberapa pemeriksaan formil, Pengadilan Negeri menjanjikan bahwa putusan akan keluar tanggal 16 Agustus 2007. Tetapi ditunda dengan alasan bahwa akan dilakukan Pemeriksaan Lokasi. Dan Ketua Pengadilan Negeri pun datang bersama panitera¹ datang langsung meninjau situasi tanah. Disitulah warga dijanjikan untuk kedua kalinya bahwa putusan akan keluar tanggal 11 September 2007.

Berkat bantuan YLBHI bersama sejumlah warga yang tersisa, proses hukum di Pengadilan Negeri pun dimulai. Dan perjuangan panjang Dg. Musu beserta warga lainnya ternyata tidak sia-sia. Tanggal 11 September 2007 Majelis Hakim Pengadilan Negeri melalui pembacaan putusan Pengadilan Negeri 13/pdt.G/2007/PN.Mks memutuskan tanah tersebut tetap milik warga Kassi-kassi.

Kesalahan Prosedural Pengadilan

Namun kebahagiaan warga tidak berlangsung lama, Rizal Tandiawan ternyata mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesungguhnya kekhawatiran warga bukanlah pada ajuan banding Rizal Tandiawan. Warga yakin sepenuhnya bahwa kemenangan akan selalu berpihak pada kebenaran. Salah satu kuasa hukum warga, Wawan (YLBHI), mengatakan bahwa secara prosedur hukum setiap orang dapat mengajukan upaya hukum, namun tetap dalam jalur yang ada. Masalahnya yang terjadi, kuasa hukum Rizal Tandiawan mengajukan banding melewati batas waktu yang biasa dipakai dalam undang-undang peradilan yaitu 14 hari setelah pembacaan putusan.

”Berdasarkan ketentuan peradilan, pengajuan banding hanya 14 hari setelah pembacaan putusan. Biasanya, pihak berperkara, baik penggugat ataupun kuasa hukumnya tidak hadir. Oleh sebab itu pihak panitera melalui juru sita bertugas menyampaikan amar putusan majelis hakim.” jelasnya.

Ternyata dalam prakteknya, banyak kekurangan prosedur peradilan muncul disana-sini. Pertama, tidak ada batas waktu dalam Undang-Undang yang mengatur batas penyampaian putusan yang dilakukan panitera. Panitera hanya memakai hitungan kebiasaan, kalau domisili pihak yang tidak hadir masih sekota, maka batasannya hanya 14 hari. Hitungan ini diambil berdasarkan buku pedoman teknis peradilan, bukan Undang-Undang Peradilan. Disinilah celah panitera untuk lolos dalam proses hukum. Kedua, tidak ada bukti/catatan yang menuliskan tanggal keluar penyampaian surat pemberitahuan dari juru sita ke kuasa hukum RT, jadi pihak tergugat terutama pihak pengadilan tidak tahu kapan juru sita sudah memberitahukan putusan pada kuasa hukum pihak yang kalah.

Mengenai ketidakjelasan prosedural peradilan, lelaki yang mengaku buta hukum ini punya kritik tersendiri, ”kalau memang tidak ada UU yang mengatur tentang batas waktu pengajuan banding, tidak mustahil setelah 10 tahun pun banding tetap bisa dibuka”, kritik Dg. Musu.

Melawan Melalui Kontra Memori Banding

Berdasarkan urutan kejadiannya, juru sita memberitahukan putusan ke kuasa hukum Rizal Tandiawan pada tanggal 25 September 2007 setelah pembacaan putusan. Namun salah satu kuasa hukum Rizal Tandiawan pada saat itu, tidak mau menerima pemberitahuan dengan alasan dia bukan koordinator tim kuasa hukum. Oleh karena itu, pemberitahuan secara sah baru diterima koordinator kuasa hukum Rizal, tanggal 2 November 2007. ”Menjadi tidak logis ketika juru sita baru memberitahukan putusan dua bulan setelah pembacaan putusan tanggal 11 september 2007,” papar Wawan.

Selanjutnya, menurut ketentuan KUH Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), juru sita dapat membuat catatan sebagai bukti sudah telah memberitahu tim kuasa hukum Rizal Tandiawan. Namun ternyata juru sita tidak menulisnya. Ini mengindikasikan memang terjadi kelalaian tugas panitera. Dimana seharusnya panitera dan juru sita mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatan mereka.

Langkah selanjutnya, kuasa hukum masyarakat menuntut pemeriksaan panitera dan juru sita sebelum kasus bandingnya dibuka. ”Kalau panitera tidak diproses secara hukum, maka ini mengarah ke praktek mafia peradilan, dan masyarakat akan mempertahankan tanahnya sampai tetes darah penghabisan,” tutur Dg. Musu dengan tegas.

Senada dengan Daeng Musu, kuasa hukum warga akan menuntut ke PT untuk memproses juru sita. Dengan begitu, juru sita akan mengaku bahwa sebelumnya mereka sudah melaporkan kepada kuasa hukum Rizal. Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan untuk memeriksa fakta-fakta hukum mengenai kasus ini.

Menurut Wawan, secara teoritis, upaya menjawab memori banding pihak penggugat disebut ’Kontra Memori Banding’. Di dalam kontra memori banding, kuasa hukum warga memohon eksepsi. Dasar eksepsi adalah terjadinya kesalahan prosedural banding. Dimana terjadi pelanggaran batas waktu banding yang ditetapkan oleh panduan teknis peradilan. Sebenarnya jika mengikuti panduan, 14 hari hanya terhitung sampai 25 September 2007. Jadi, pengajuan banding tanggal 12 November 2007 yang melewati batas waktu dianggap tidak sah. Secara hukum, hakim Pengadilan Tinggi bisa menolak pengajuan banding Rizal karena dianggap tidak sah.

Fajlurrahman Jurdi, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum UH pun angkat bicara, ”Memori banding pihak penggugat secara otomatis akan batal demi hukum dan keputusan Pengadilan Negeri lah yang sah secara hukum.” Ia menambahkan bahwa kuasa hukum warga harus mencari bukti yang menunjukkan letak kesalahan panitera. Kalau ada bukti, panitera bisa dilaporkan sebagai tindak pidana pemalsuan keputusan hakim ke pihak kepolisian. ”Praduga saya, ada kong kalikong antara juru sita dan kuasa hukum penggugat”, tuturnya.

Indikasi Praktek Mafia Peradilan

Dari informasi yang diperoleh CAKA, Ketua Pengadilan Tinggi menjelaskan bahwa ada kode etik dimana dia tidak boleh memberitahukan nama-nama Majelis Hakim yang akan memimpin sidang, termasuk kepada staf panitera. Yang mengetahui hanya Ketua Pengadilan Tinggi seorang. Ini untuk menjaga independensi hakim.

”Ini mungkin itikad baik. Masalahnya Rizal Tandiawan sudah sering berurusan dengan Pengadilan Tinggi. Ada analogi bahwa hakim adalah pelacur dan pengusaha adalah lelaki hidung belang. Jika pelacurnya lagi butuh duit maka dia yang akan menghubungi lelaki hidung belangnya. Hakim yang mengetahui penggugat adalah Rizal Tandiawan, pemilik saham PT Sinar Galesong Pratama, maka bukan mustahil dia yang akan menghubungi pihak Rizal.” ungkap Wawan disela konsolidasi warga Kassi-kassi dengan beberapa organ mahasiswa.

Dg. Musu sempat mengemukakan bahwa jika panitera dan juru sita tidak diproses secara hukum, maka jelas ini mengarah ke praktek mafia peradilan. Namun Fajlurrahman berpendapat lain, ia menjelaskan bahwa yang disebut mafia peradilan adalah ketika proses hukumnya sedang berjalan. ”Persoalannya dalam kasus ini, keputusannya sudah final. Yaitu keputusan Pengadilan Negeri. Sedangkan ajuan banding yang dilakukan Rizal langsung batal demi hukum”, ujar Fajlur singkat.

Secara konsepsional, sebuah kesalahan praktisi hukum dapat disebut praktek mafia peradilan apabila memiliki lima ciri berikut. Yang pertama, faktor uang yang menyebabkan hilangnya independensi hakim. Kedua, adanya interest. Artinya, jika hakimnya mengetahui bahwa kasus yang ditanganinya ”basah”, sehingga hakim memutuskan untuk menikmati. Yang ketiga, adanya intervensi. Intervensi yang dimaksud datang dari berbagai pihak. Misalnya Politikus, atasan langsung, kerabat, maupun kawan-kawan. Keempat, ketidakmampuan sang hakim dalam bidang hukum yang ditanganinya. Dan kelima, ketidak konsistenan hakim dalam doktrin yang digunakan. Dari lima ciri ini praktek mafia peradilan dapat diidentifikasi.

Wawan juga menjelaskan bahwa praktek mafia peradilan belum bisa dibuktikan, meskipun indikasi kesalahan prosedural pengadilan memang ada. Indikatornya, beberapa sidang di Pengadilan Negeri ternyata menyalahi proses hukum acara, misalnya sidang yang dilakukan di ruang hakim bukan di ruang sidang sebagaimana mestinya, serta hakim yang membuka sidang bukan Ketua Majelis hakim. Lalu tidak ada pemeriksaan setempat yang seharusnya dilakukan oleh hakim. Ini semua menjadi indikator bahwa prosedur peradilan memang sangat kacau.

Ian dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), salah satu organ pendamping hukum kasus ini, menjelaskan dari sudut pandang yang lain. Menurutnya kasus sengketa tanah yang banyak terjadi di Makassar dikarenakan kesalahan pemerintah. Peraturan pemerintah tidak mengatur secara jelas tata letak dan tata ruang bagi rakyat miskin. ”Saya ambil contoh Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006, dalam peraturan ini jelas tidak diatur bagaimana tata letak bagi rakyat miskin, maka jangan heran sering terjadi kasus sengketa tanah di Makassar.” ungkapnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rakyat kecil terlalu sering menjadi korban produk peraturan yang gagal. Walaupun dalam proses pembentukannya banyak pihak yang dilibatkan seperti NGO, namun kenyataannya sangat sedikit perhatian pemerintah dalam tata kelola kota khususnya bagi rakyat kecil.

Mengenai kemungkinan kasus ini akan dibawa ke Komisi Yudisial, Wawan mengemukakan, ”kewenangan Komisi Yudisial hanya memilih calon hakim agung dan melakukan pengawasan, artinya dalam kerangka menjaga wibawa dan martabat hakim. Bandingnya hanya kesalahan juru sita dan panitera, masalah penyampaian putusannya. Panitera melalui juru sita menyampaikan putusan, begitu pun juru sita menyampaikan dua bulan setelah pernyataan banding, jadi bukan kewenangan Komisi Yudisial.” singkatnya.

Tapi apakah benar kelalaian panitera dan juru sita dapat disebut sebagai praktek mafia peradilan. Ataukah mereka hanya korban dari prosedur peradilan yang kacau. Logika hukum yang sederhana sebenarnya dapat menjawab banyak pertanyaan mengenai ketidakjelasan prosedur peradilan. Seharusnya ada undang-undang yang mengatur batas waktu penyampaian putusan pada pihak berperkara yang tidak hadir. Jika tidak ada, maka dapat menjadi celah yang digunakan oleh pelacur hukum untuk berbuat tidak adil. Selain itu, Pengadilan Tinggi harus memiliki sanksi yang jelas terhadap panitera yang lalai dalam kinerja dan tanggung jawabnya. Dengan demikian, dapat mencegah ketidakadilan yang terjadi di kalangan rakyat kecil. (Dhany/aminude)

kami warga Kassi yang berjumlah 60 KK

memang hidup di bawah garis kemiskinan yang tak terperikan

kami memang tak paham hukum

kami memang hanya pekerja kasar dengan gaji harian

yang berprofesi tukang batu, daeng becak maupun supir pete-pete

kami memang tak mampu membiayai anak-anak kami untuk bersekolah tinggi

namun kami telah bersyukur

hidup damai dan tentram di atas rumah gubuk yang kami bangun di atas tanah kami sendiri

tanah yang dulu masih berawa-rawa

yang kami beli dari hasil jerih payah kami

yang bertahun-tahun kami cicil hingga saat ini

dan miskinnya persediaan kami hidup di atas tanah kami

kami telah bahagia dan bersyukur

kami tak pernah merongrong pemerintah untuk memberikan subsidi

atau hal-hal yang terkait dengan hak warga

kami pun tak pernah mengemis

atau mengganggu orang-orang kaya atau pengusaha

(jeritan nurani warga Kassi-kassi)

_Catatan Khusus Bulletin CaKa Edisi I Mei 2008

Tidak ada komentar: