Selasa, 24 Juni 2008

Ada yang Mencuri Hangat Teh Malam ini

_Dedy de goode

Malam ini seperti mati. Tak ada aktifitas yang menandakan kehidupan masih berjalan. Jalanan langang. Setiap sudut tiba-tiba diam. Hujan siang tadi masih menyisakan air yang menggenang di parit atau jalanan yang berlubang seperti kubangan kerbau di sawah-sawah. Udara dingin memaksa setiap orang untuk tetap tinggal di rumah dan duduk di perapian bersama sanak keluarga, sahabat dan teman terdekat. Atau bila harus keluar, maka jaket harus turut membalut kulit tubuh yang diserang dingin. Barangkali setiap orang punya cara sendiri untuk mengusir dingin. Apapun yang mengandung hangat akan menjadi kekasih yang dicari-cari pada malam ini.

Nuansa putih pada tembok di ruangan berukuran tiga kali empat meter ini, dengan neon yang bergumam pelan, rak-rak dengan buku-buku di atasnya, pigura-pigura foto keluarga yang di belakangnya bersembunyi seekor cecak, serta sunyi yang sempurna mendekap masuk ke dalam ruangan di otakku yang mulai sesak oleh berbagai kenangan yang membusuk. Ada cerita yang tercipta saat tiba-tiba teh di hadapanku menjadi dingin seperti malam ini. Siapa yang mencuri hangatnya, aku tak tahu.

Barangkali setiap orang akan berpikir bahwa dinginlah yang membunuh hangat pada teh. Seperti api disirami air. Akupun berpikir demikian. Sebab, bagaimanapun alasan itu sangat rasional dan masuk akal. Malam ini, tepat pendulum jam singgah pada angka sempurna, ada yang mencuri hangat teh di atas mejaku. Sebuah pencurian yang sempurna. Sebab tak tersisa sedikitpun hangat dalam pahitnya. Seperti cinta yang dititipnya pada hari-hari lewat, kini telah dibawanya tanpa sisa. Meski sekedar untuk diimpikan pada malam-malam yang kejam. Saat bulan membunuh pijar bintang yang hendak bersinar. Saat burung hantu membawa berita tentang kematian. Saat anjing-anjing melolong pada malam buta di lorong-lorong.

Ada yang mencuri hangat teh malam ini. Siapa yang mencuri hangatnya, aku tak tahu. Sebab, aku tak menerima seorangpun tamu pada malam ini. Tak seorangpun yang mengetuk pintu, mengucap salam lalu segera pergi saat hujan sudah reda. Jendela telah kututup rapat saat seorang mengingatkan aku pada siaran malam dalam radioku yang sudah mulai renta. Tempias dari air hujan yang terpecik di kaca jendela masih melekat dan mengintip dari luar. Lalu siapa?

Saat hangat teh tiba-tiba hilang, ada cerita yang tiba-tiba muncul di atas langit-langit kamarku. Di tembok, lemari, buku-buku, meja, jendela, pintu, halaman rumah dan cangkir dengan ukiran naga menjelma kisah saat pandang melata di atasnya seperti ular sanca menari-nari di atas daun-daun di belakang kebun. Kisah dari cinta yang pergi pada subuh hari. Sebelum embun menyerah dan kalah pada matahari. Dan kisah itu bermula dari hangat teh yang tiba-tiba hilang.

Jika cahaya neon dihalangi dengan benda di atasnya, maka bayang-bayang dari benda itu akan jatuh ke mana-mana. Seperti itu pula pikiran jika telah dijejali dengan berbagai macam kenangan. Setiap benda yang terlihat akan menjelma kenangan itu. Seperti mata ketika telah dimasuki bayang-bayang. Setiap sesuatu menjelma bayang-bayang itu saat pandang jatuh pada segala arah.

Jika hanya beberapa saat saja hangat teh bisa hilang, betapa dahsyat dingin itu. Sedahsyat amnesia yang membunuh kantuk pada malam hari. Sedahsyat embun menyuburkan bunga-bunga sebelum matahari terbit. Dan sedahsyat kanker yang bersarang di otakmu dan mengambilmu dariku di ujung dipan pada sebuah rumah sakit. Genggaman tanganku pada tanganmu ternyata tak bisa lagi menunda takdirmu untuk segera pamit. Padahal kisah belumlah sempurna tercipta. Terlalu banyak hal yang belum kau ketahui.

Seandai tak ada yang mencuri hangat teh malam ini, barangkali tak ada cerita yang menyeruak. Tak ada kisah yang membuncah tiba-tiba. Seperti kebohongan yang ditimbun pada bak sampah yang sudah mulai sesak. Dan udara yang terus-menerus terisi pada balon yang dibeli dari kedai tetangga. Atau air dalam ember yang telah penuh oleh hujan sore hari. Sementara ada yang mengukir kesetiaan pada janji tak pasti. Menyerahkan mimpi sepenuhnya pada pembohong. Menulis keikhlasan yang menzarah pada bibir pantai dan langit biru, barangkali adalah sebuah kesia-siaan. Namun bagimu adalah sebuah pengorbanan yang sangat manis. Sementara ada pula yang menulis tentang sebuah pengkhianatan dan perselingkuhan. Dan tak jarang kebohongan adalah cara yang tepat untuk memelihara pengkhianatan dan perselingkuhan. Dan kau tak pernah tahu itu.

Pernah ada malam yang dingin seperti malam ini, kau datang melalui kabel dari rumahmu menuju rumahku. Suaramu merdu dari seberang. Kau tanya kabar. Dan tak lupa kau bertanya tentang kesetiaan dan rindu yang menggebu-gebu. Aku jawab, aku masih rindu dan tetap setia. Jawaban ini kuucapkan dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sehabis percakapan singkat kita, kau tak tahu bahwa seeorang perempuan telah menanti rangkulanku yang akan mengusir dingin di tubuhnya di sofa di ruang tamu. Dan selalu kau menanyakan itu saat malam menjadi dingin sehabis hujan. Selalu pula ada perempuan lain yang menungguku di sofa.

Masih pula kuingat saat aku hendak pamit keluar kota bersama teman-temanku. Bertamasya mengelilingi dan menyaksikan pemandangan indah pada sebuah bukit. Melukis gadis yang baru saja kukenal di hadapanku, sambil sesekali memuji lekuk tubuhnya, dari rambut hingga ujung kaki. Dan sepulang dari sana, kau masih sempat menanyakan kabar dan pertanyaan yang biasa kau tanyakan. Dan jawabanku masih tetap sama seperti pertanyaanmu. Sesekali aku menggerutu, kau terlalu mendewakan kesetiaan. Sementara hidup adalah untuk dinikmati. Apa yang membuatmu begitu mengagungkannya, hingga kau pergi, masih saja kau lemparkan pertanyaan itu?

Kepercayaan, katamu, adalah hal yang membuatmu bertahan. Dan juga, tambahmu, kesetiaan mampu merobohkan dinding yang terbuat dari baja sekalipun. Aku hanya mengangguk kala itu. Dan kau selalu layarkan kecup lewat suara yang kau kirim ke rumahku sebagai hadiah sebelum tidur. Kau selalu ingatkan aku untuk berdoa dahulu. Doa senantiasa akan menghadirkan mimpi indah kedalam tidur, katamu suatu waktu.

Sampai umurmu harus usai pada malam itu, kesetiaan yang kau katakan benar-benar telah menghancurkan dinding yang selama ini kubangun dari kebohongan dan pengkhianatan. Aku harus berbohong untuk terakhir kali, aku terpaksa. Sebab aku tak ingin kebohongan sebelumnya membuatmu kecewa dan tak nyaman untuk pergi. Kebohongan kali ini bukan karena pengkhianatan, tapi karena rasa yang mulai menyelinap masuk melalui urat nadi menuju jantungku. Dan kulihat kau tersenyum lega saat mendengar kebohongan itu. Sepertinya hidupmu hanya untuk mendengar dan mempercayai kebohongan dariku. Kau tak bertanya apa-apa lagi padaku. Matamu tertutup seperti hendak menjumpai mimpi dari doa-doa yang selalu kau katakan padaku.

Sampai saat ini, jika hendak tidur aku selalu berdoa dahulu. Memohon Tuhan mengirimmu kembali padaku, meski hanya dalam tidur semalam.

Hingga malam masih saja dingin oleh hujan sore hari, aku belum menemukan siapa yang mencuri hangat tehku. Barangkali angin, atau waktu pada jarum jam. Atau barangkali hangat menolak bercumbu dengan teh. Hingga dia putuskan untuk pergi mencari sesuatu yang lain. Hangat ternyata tak setia pada teh malam ini. Buktinya dia harus menghilang dari seduhan. Aku harus mencari kehangatan pada yang lain. Sebab malam ini teh tak lagi hangat.

Sepertinya ada yang menekan angka-angka pada telepon umum di pinggir jalan, dan mengirim bunyi untuk segera diangkat. Aku harus bergegas, sebab mungkin ada jawaban atas pertanyaan akan siapa yang mencuri hangat tehku, atau mungkin dialah pencurinya.

Suara di seberang mengirim angin yang berhembus kencang. Bumi seperti berguncang. Aku terdiam terpaku seperti patung yang terpasung dan tertanam di tengah-tengah kota, saat sebuah sapaan yang sepertinya kukenal muncul dari seberang.

”Selamat malam. Apa kabarmu? Kau masih rindu aku, kan? Ingat, jangan lupa berdoa sebelum tidur!”

Tiba-tiba sekeliling menjadi geiap.

Makassar, 2008

Tidak ada komentar: