Selasa, 24 Juni 2008

Membaca diari nenek

_Dedy de goode


“Bacakan aku lagi sehalaman saja diari itu,” ucap nenek padaku. Permintaan ini sudah lumrah bagiku, bila malam tiba-tiba dingin dan nenek tak bisa pejamkan matanya yang berangkat menua. Dalam piyama biru itu, nenek lebih mirip siluet bocah balita yang mengenakan baju ibunya yang kebesaran pada tubuhnya. Dan aku adalah laki-laki yang disunting nenek untuk menjadi pendongeng—ah, bukan pendongeng. Tepatnya aku adalah cermin bagi nenek untuk sekedar melihat masa-lalunya.

Malam itu, entah sudah malam keberapa aku menyentuh diari ini. Aku sepertinya telah menyatu dengan ceruk-ceruk, garis-garis, debu-debu, serta kekusamannya. Tulisan nenek rapi melata di atas garis yang seluruhnya berjumlah duapuluhlima. Ya, aku hapal betul jumlah garis setiap halaman diari nenek. Dan malam ini, tepat jarum jam menuntaskan detaknya pada angka dua belas, aku membuka halaman limapuluh diari nenek. Bila aku terlihat telah bersiap-siap membaca, nenek akan segera memeluk bantal bersandar kedinding, seraya kakinya diluruskan kearahku. Diari nenek adalah sekumpulan memori yang ditulisnya pada usia sembilanbelasan. Tulisan nenek bagiku sedang-sedang saja, bahkan mendekati klise yang naif dan melankolis. Bahkan pernah suatu malam aku tiba-tiba malas, dan nenek berkata padaku:

“Demi usia tuaku, lakukan ini untukku.”

Aku merasa bersalah pada nenek. Apa yang telah dikatakannya benar. Nenek hanya punya satu kesempatan untuk meminta apa-apa. Punya satu pilihan untuk berbuat. Tidak seperti diriku yang masih muda dan akan segera kuliah.

Aku ingat malam pertama nenek menyuruhku membaca diari itu. Dia menyimpannya pada sebuah kotak besi tua karatan mirip peti harta karun firaun yang tertanam bersama mummi. Nenek memandangi wajahku dalam-dalam. Setelah itu wajahnya yang keriput tiba-tiba merapat seperti baru saja disuntik silikon pada porinya.

Aku ingat, halaman pertama bertanggal 21 Maret 1945. Saat itu perang asia timur raya, Jepang melawan sekutu, tengah bergejolak. Dan persiapan untuk kemerdekaan tengah dipersiapkan. Nenek adalah seorang anak yang lahir dalam suasana perang dan ketidakamanan. Ayahnya adalah seorang yang gigih melawan penjajah. Ada sepuluh halaman nenek menceritakan dalam diarinya suasana begitu mencekam. Sampai akhirnya ia bertemu seorang pemuda, dan akhirnya jatuh cinta. Dalam halaman selanjutnya nenek teus menceritakan pemuda itu. Kata-kata nenek seolah sebuah puisi yang ditujukan buat kekasihnya. Nenek telah betul-betul jatuh hati pada pemuda itu. Ada satu momen dalam diari itu saat nenek bercinta bersama pemuda itu di sebuah taman, yang belakangan namanya tertulis: Samsul. Tak kurang dari tiga-puluh-kali nama pemuda itu menghiasi setiap sudut diari nenek. Dan nenek senang jika Samsul menyebut namanya dengan Mina. Siti Aminah. Aku yakin nenek senang bukan karena nama itu indah—setidak-tidaknya nama itu terlampau melayu bagi wanita Jawa—melainkan karena sebutan itu datang dari bibir seseorang yang sangat dikaguminya. Semua orang pasti akan bahagia jika mendengar namanya disebut oleh yang dikagumi. Dan aku berpikir inilah pemuda yang menjadi kakekku. Tapi aku keliru saat nama dan cerita berubah haluan dari yang diperkirakan nenek. Pemuda itu mati saat melawan Jepang di sebuah hutan. Dan nenek akhirnya dipersunting pemuda kaya anak tuan tanah yang akhirnya menjadi kakekku. Tapi kakekku telah almarhum setahun lalu di sebuah rumah sakit. Penyakit jantungnya kumat karena sebuah teriakan penyanyi rock dalam radionya yang renta. Nenek betul-betul kehilangan: kehilangan Samsul dan kakek.

Dan halaman lima-puluh ini, belum juga terbaca. Nenek masih setia menanti gerak bibirku. Wajahnya cemas khawatir seperti rupa perempuan menunggu kereta terakhir yang mengantar pulang kekasihnya. Dan aku sering memperhatikan nenek jika sudah begitu. Ekor mataku mulai meliuk-liuk di atas susunan huruf-huruf di atas lembaran diari. Sepertinya halaman yang tengah kupegang ini adalah halaman menjelang penghabisan. Dan aku benar. Dua halaman lagi diari ini akan habis. Esok malam aku tak akan lagi mendapat tugas membaca diari nenek. Kecuali bila nenek ingin mendengar semuanya lagi. Ah, sepertinya aku harus merekam suaraku sendiri pada sebuah kaset kosong dan diserahkan pada nenek, agar jika aku tak ada, atau ingin mendengar sendiri diari itu dibaca, nenek bias langsung saja memutar kaset rekamanku.

Tapi, nenek menolak. Aku pernah menyarankan sebelumnya. “Aku ingin mendengar langsung dari bibirmu.” Itu jawabannya.

Halaman menjelang akhir ini kubaca lamat-lamat dengan kalimat dan tekanan yang pasti, sebab pendengaran nenek mulai berkurang dan penglihatannya mulai mengabur. Ubannya jatuh satu-satu di atas bantal yang dipeluknya. Sementara giginya tinggal tiga, dua pinggir kiri atas, satu pinggir kanan bawah. Itu pun sudah mulai rapuh. Tak jarang nenek mengunyah sirih di siang hari. Di bawah ranjang, jika hendak tidur, nenek selalu nemempatkan sebuah kendi kecil yang berisi abu dapur, tempat menumpahkan dahaknya jika sewaktu-waktu ia batuk. Kadang aku jijik, kadang juga tidak.

Halaman mulai bercerita. Nenek diam menggenapkan sepi: tentang pernikahannya bersama kakek yang dianggapnya kurang bahagia. Bagimana pun ia perempuan. Budaya diam dan mengangguk adalah bahasa santun dan hormat bagi perempuan tanpa harus banyak bertanya. Sampai saatnya ia mengandung ibu, nenek masih saja belum bisa melupakan Samsul. Meski terbilang hampir tak pernah bertengkar dengan kakek, namun nenek belum juga merasa bahagia. Entah mengapa. Nenek sendiri tak tahu. Dia sendiri sudah pernah mencoba mencinta kakek, tapi selalu gagal. Di akhir kalimat halaman itu, nenek memutuskan berhenti menulis diari dan menaruhnya dalam kotak besi tua karatan dan menyimpannya dalam lemari kaca. Tak seorang pun tahu akan keberadaan diari itu. Begitu rapi nenek menyimpannya. Bahkan angin pun tak akan mampu masuk kedalam kotak itu untuk sekedar mencuri huruf-hurufnya dan segera dibawa lari menuju barat. Apalagi kecoa maupun tikus. Dan entah apa namanya, keberuntungan atau bukan aku adalah orang pertama dan mungkin terakhir yang mendapat kesempatan membaca diari itu. Diari itu purba, sepurba wajah nenek. Diari itu adalah orang kepercayaan yang dibeli nenek untuk menyimpan semua ceritanya.

Habis. Nenek telah tertidur. Pulas sekali. Aku membaca letih di sana. Menghitung kerutan dahinya. Kerutan itu tumbuh seiring usia, kekhawatiran, kesenangan, kesusahan, dan sebuah rahasia—diari—yang disimpannya bertahun-tahun lamanya. Dan tak bisa dibayangkan ia harus usai terbaca pada malam ini. Ya, segala sesuatu akan ada saatnya terjadi.

Aku memutuskan menutup diri itu. Tapi, aku penasaran oleh benda yang teraba tanganku di lembaran terakhir. Sesuatu tersimpan dalam kertas serupa amplop dan dilem kuat-kuat. Aku buka. Dan aku terkejut. Ada wajah di sana: wajah hitam-putih yang mirip wajahku namun sedikit kusam. Pelan-pelan kubalik belakang foto itu. Samsul. Begitulah nama yang tertera di sana.

Makassar, 2008

Tidak ada komentar: